Penyair Abuk Alias Gatot Alias Lie Keng Hoek Ulang Tahun Ke-61 Gelar “Refleksi Puitika Abuk” Malam Ini
...”aku mencoba jadi seorang yang tidak aku kenal seperti usia merangkak anak, istri dan cucuku. Mereka meyakini bahwa aku bernama abuk, bukan gatot atau yohanto a nugraha, apalagi lie keng hoek yang berbau klenteng, tapi ibuku bernama awalan lie, begitu juga kakeku. Akulah abuk, berhembus dari tanah kering dan bibir basah, lalu menyebar sms kemana-mana sambil menanam impian atas pohon kerdil bersama seorang wanita bernama jumiatin. Itulah abuk, seperti diriku kemudian bicara tentang kemanusiaan, nasionalisme, keadilan dan kemakmuran seperti menyebut nama-nama bonsai, semuanya bernama abuk, terlahir di pecinan, ... dan hujan melembabkan sajak-sajak yang diawetkan atas wanita dan lelaki yang mengenakan kacamata hitam, mengunyah permen karet, turun dari pentas dunia, sambil mengunyah sajak-sajakku yang terjebak retorika orang-orang”...
Demikianlah, salah satu untaian bait-bait puisi Abuk yang khas. Malam ini, Sabtu pukul 19.00 WIB (20/2/2016), penyair Abuk alias Gatot alias Yohanto A Nugraha alias Lie Keng Hoek, akan membacakan puisi-puisi di sepanjang karier kepenyairannya yang panjang.
Bertempat di Gedung Panti Budaya yang merupakan markas para seniman Indramayu, Abuk memperingati hari kelahirannya yang menandai usianya yang ke-61 tahun, dengan perayaan puisi. Bertajuk “Refleksi Puitika Abuk”, akan menjadi saksi usia panjang kepenyairan “si tukang bonsai” dalam menekuni teks-teks puisi.
Bagi Abuk, bahkan bagi dunia penyair Indramayu, sudah menjadi tradisi tersendiri. Bahwa tanggal 20 Februari, merupakan semacam “hari perayaan puisi” dimana Abuk memandai tanggal kelahirannya dengan berbagai macam helaran puisi. Ada lomba baca puisi, penerbitan antologi puisi hingga malam puncak yang diusia ke-61 tahun Sabtu malam ini, seperti biasa berupa pembacaan puisi, orasi dan monolog.
“Aku ingin terus-menerus berpuisi. Melawan arus waktu, melawan roda jaman. Puisi adalah hidupku, perjuanganku dan pengabdianku,” tutur Abuk.
Memperingati hari kelahiran dengan gelaran puisi bagi Abuk sudah merupakan kesekian kalinya. Bahkan boleh dibilang sudah menjadi tradisi, tidak saja bagi Abuk secara individual, juga bagi jagad kepenyairan di daerah pantura ini.
Sudah lebih dari sepuluh tahun, gelaran puisi dengan momentum hari kelahiran ini berlangsung. Dan Abuk seperti tak pernah mengenal lelah. Dia terus setia dengan penuh komitmen, menggoreskan puisi hingga ke relung terdalam dari kehidupannya yang makin beranjak senja.
“Puisi bagiku adalah lautan teks dan samudra makna dalam hidupku yang sangat sederhana,” tutur penyair kelahiran Indramayu, 20 Februari 1955 ini.
Demikianlah, salah satu untaian bait-bait puisi Abuk yang khas. Malam ini, Sabtu pukul 19.00 WIB (20/2/2016), penyair Abuk alias Gatot alias Yohanto A Nugraha alias Lie Keng Hoek, akan membacakan puisi-puisi di sepanjang karier kepenyairannya yang panjang.
Bertempat di Gedung Panti Budaya yang merupakan markas para seniman Indramayu, Abuk memperingati hari kelahirannya yang menandai usianya yang ke-61 tahun, dengan perayaan puisi. Bertajuk “Refleksi Puitika Abuk”, akan menjadi saksi usia panjang kepenyairan “si tukang bonsai” dalam menekuni teks-teks puisi.
Bagi Abuk, bahkan bagi dunia penyair Indramayu, sudah menjadi tradisi tersendiri. Bahwa tanggal 20 Februari, merupakan semacam “hari perayaan puisi” dimana Abuk memandai tanggal kelahirannya dengan berbagai macam helaran puisi. Ada lomba baca puisi, penerbitan antologi puisi hingga malam puncak yang diusia ke-61 tahun Sabtu malam ini, seperti biasa berupa pembacaan puisi, orasi dan monolog.
“Aku ingin terus-menerus berpuisi. Melawan arus waktu, melawan roda jaman. Puisi adalah hidupku, perjuanganku dan pengabdianku,” tutur Abuk.
Memperingati hari kelahiran dengan gelaran puisi bagi Abuk sudah merupakan kesekian kalinya. Bahkan boleh dibilang sudah menjadi tradisi, tidak saja bagi Abuk secara individual, juga bagi jagad kepenyairan di daerah pantura ini.
Sudah lebih dari sepuluh tahun, gelaran puisi dengan momentum hari kelahiran ini berlangsung. Dan Abuk seperti tak pernah mengenal lelah. Dia terus setia dengan penuh komitmen, menggoreskan puisi hingga ke relung terdalam dari kehidupannya yang makin beranjak senja.
“Puisi bagiku adalah lautan teks dan samudra makna dalam hidupku yang sangat sederhana,” tutur penyair kelahiran Indramayu, 20 Februari 1955 ini.
Penulis : Aen
Sumber : Galamedia
Post a Comment