Petambak Tradisional di Indramayu Tolak Sertifikasi CBIB
Indramayu - Sejumlah petambak udang tradisional yang tergabung dalam Koalisi
Masyarakat Pesisir Indramayu menolak penerapan Sertifikasi Cara Budi
Daya Ikan yang Baik dari Direktorat Jenderal Perikanan Budi Daya karena
dinilai akan mematikan pemasaran ikan pada level usaha kecil.
“Sertifikasi CBIB itu hanya akan mengakomodasi pemasaran udang pada
skala usaha besar, sehingga para petambak tradisional terancam tidak
bisa memasarkan hasil budi daya udangnya,” kata Ketua Kompi, Juhadi
didampingi Sekretaris Kompi, Iing Rohimin di sela dialog publik
Perikanan Budi Daya di ASEAN di Indramayu, Kamis (24/10/13).
Dialog publik yang berlangsung 24-25 Oktober tersebut dihadiri
sejumlah petambak tradisional dari berbagai daerah di Jawa Barat, LSM
Komunitas Rakyat untuk Keadilan Perikanan, dan Direktur Produksi
Direktorat Produksi Direktorat Jenderal Perikanan Budi Daya, Coco
Kokarkim Soetrisno. Dialog tersebut membahas seputar kebijakan
Sertifikasi CBIB yang dilegalisasi dengan Keputusan Menteri Kelautan dan
Perikanan RI No. KEP.02/MEN/2007 tentang Cara Budi Daya Ikan yang Baik.
Sertifikasi tersebut merupakan turunan dari konvensi dunia mengenai
sistem standar mutu dan keamanan pangan, seperti Hazard Analysis and
Critical Control Points (HACCP), Good Aquaculture Practices (GAP), dan
Aquaculture Stewardship Council (ASC). Di sejumlah Asia Tenggara,
sertifikasi sejenis kini tengah digenjot pemerintah setempat untuk
menghadapi pasar bebas ASEAN 2015.
Juhadi mengungkapkan, sertifikasi CBIB di Indonesia tidak memihak
para pembudi daya lokal dengan skala usaha kecil karena membatasi
pemasaran dengan menerapkan standardisasi yang belum bisa mereka penuhi.
Sebab, saat ini para pembudi daya udang tradisional masih terkendala
minimnya fasilitas dan infrastruktur.
Sekretaris LSM Kiara, Abdul Halim mengungkapkan, sertifikasi CBIB
akan berdampak buruk bagi para pembudi daya udang tradisional, terutama
di dua daerah dengan kantong produksi udang terbesar, yaitu Kabupaten
Indramayu, Jawa Barat dan Bumi Dipasena, Kabupaten Tulang Bawang,
Provinsi Lampung.
Di Indramayu, dia mencatat, lahan perikanan budi daya air payau
mencapai 22.514 hektare dengan komoditas unggulan meliputi udang,
bandeng, dan rumput laut. Pada 2011, jumlah produksi dari tambak
tersebut mencapai 101.454 ton dan memasok kebutuhan ikan dan udang
sebanyak 40%-60% di Jawa Barat.
“Pemerintah seharusnya mendukung usaha kecil para pembudi daya udang
ini dengan memberikan fasilitas dan infrastruktur yang memadai. Bukan
malah menerapkan kebijakan baru yang justru mengancam usaha mereka,”
tuturnya.
Direktur Produksi Direktorat Produksi Direktorat Jenderal Perikanan
Budi Daya, Coco Kokarkim Soetrisno mengakui, keluhan para pembudi daya
udang di Indonesia itu juga dirasakan di sejumlah negara lainnya di Asia
Tenggara. Dia berjanji untuk tetap melindungi para petambak tradisional
dengan melakukan pengawasan teknis di sejumlah tambak.
“Pengawasan teknis ini tujuannya untuk mempertahankan mutu. Jadi jika
mutu ikan baik, para petambak akan tetap bisa memasarkan hasil usahanya
meski belum dapat sertifikasi,” katanya. (PRLM)
Post a Comment