Dai Bachtiar Raih Profesor Antiteror dari Australia
Jakarta - Sebuah universitas ternama Australia, Edith Cowan University (ECU),
memberikan gelar profesor bidang keamanan dan antiteror yang kedua
kalinya kepada Da'i Bachtiar, mantan Kapolri dan Dubes RI untuk
Malaysia.
Wakil Rektor ECU Profesor Kerry O Cox menyerahkan sertifikat guru besar itu kepada Da'i disaksikan oleh Dubes Australia untuk Indonesia Greg Moriarty, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Komarudin Hidayat, mantan Kapolri dan mantan rektor Universitas Pancasila Awaloedin Djamin di Jakarta, Jumat (1/2).
Selain itu, hadir pula mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh dan Ketua Persatuan Artis Sinetron Indonesia (Parsi) Anwar Fuadi. Dubes Australia dan Profesor Kerry mengatakan bahwa pemberian gelar "dosen tamu" (adjunct professor) kepada Da'i karena kesuksesan mantan Kapolri kelahiran Indramayu, Jawa Barat, ini dalam membongkar jaringan pelaku bom Bali ke-1 pada tahun 2002 yang menelan korban jiwa di antaranya 88 warga Australia.
Selain itu, Da'i dinilai aktif dalam mendirikan sekolah dan pelatihan antiteror di Semarang yang dinamakan "Center for Law Enforcement Cooperation" (JCLEC). Banyak aparat kepolisian mancanegara belajar dan saling tukar-menukar pengalaman di sana.
Mantan Kapolri ini juga aktif dan mendirikan Yayasan Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia (LCKI) dan menjadi narasumber dalam berbagai seminar mengenai pencegahan kejahatan di dalam negeri maupun di luar negeri. "Ini merupakan pemberian gelar profesor kedua kalinya. Sebelumnya, Edith Cowan University di perth, Australia, juga memberikan gelar profesor bidang keamanan dan antiteror kepada saya pada tahun 2009," kata Da'i.
Da'i Bachtiar yang juga mantan Gubernur Akademi Polisi Semarang selalu ingin berbagi pengalaman dalam membongkar jaringan terorisme dibagi ke berbagai penjuru dunia. Ia membandingkan perbedaan dampak perang dengan teror. Menurut dia, dampak dari perang bisa diperhitungkan dan bisa diantisipasi. Akan tetapi, dampak dari teror sangat sulit diprediksi karena korban umumnya adalah rakyat yang tidak berdosa.
Menurut dia, ada tiga variabel yang menimbulkan terorisme, yakni ideologi, pengikut, dan ketidakadilan. "Ideologi dan pengikut bisa diawasi, tetapi yang namanya ketidakadilan ini sulit diprediksikan," katanya.
Da'i berkata,"Jadi, jangan sampai ada ketidakadilan yang mencolok mata sehingga mendorong masyarakat untuk menjadi pengikut dalam suatu ideologi yang menggunakan teror dan kekerasan untuk mencapai keinginannya." (Antara/Agt)
Wakil Rektor ECU Profesor Kerry O Cox menyerahkan sertifikat guru besar itu kepada Da'i disaksikan oleh Dubes Australia untuk Indonesia Greg Moriarty, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Komarudin Hidayat, mantan Kapolri dan mantan rektor Universitas Pancasila Awaloedin Djamin di Jakarta, Jumat (1/2).
Selain itu, hadir pula mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh dan Ketua Persatuan Artis Sinetron Indonesia (Parsi) Anwar Fuadi. Dubes Australia dan Profesor Kerry mengatakan bahwa pemberian gelar "dosen tamu" (adjunct professor) kepada Da'i karena kesuksesan mantan Kapolri kelahiran Indramayu, Jawa Barat, ini dalam membongkar jaringan pelaku bom Bali ke-1 pada tahun 2002 yang menelan korban jiwa di antaranya 88 warga Australia.
Selain itu, Da'i dinilai aktif dalam mendirikan sekolah dan pelatihan antiteror di Semarang yang dinamakan "Center for Law Enforcement Cooperation" (JCLEC). Banyak aparat kepolisian mancanegara belajar dan saling tukar-menukar pengalaman di sana.
Mantan Kapolri ini juga aktif dan mendirikan Yayasan Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia (LCKI) dan menjadi narasumber dalam berbagai seminar mengenai pencegahan kejahatan di dalam negeri maupun di luar negeri. "Ini merupakan pemberian gelar profesor kedua kalinya. Sebelumnya, Edith Cowan University di perth, Australia, juga memberikan gelar profesor bidang keamanan dan antiteror kepada saya pada tahun 2009," kata Da'i.
Da'i Bachtiar yang juga mantan Gubernur Akademi Polisi Semarang selalu ingin berbagi pengalaman dalam membongkar jaringan terorisme dibagi ke berbagai penjuru dunia. Ia membandingkan perbedaan dampak perang dengan teror. Menurut dia, dampak dari perang bisa diperhitungkan dan bisa diantisipasi. Akan tetapi, dampak dari teror sangat sulit diprediksi karena korban umumnya adalah rakyat yang tidak berdosa.
Menurut dia, ada tiga variabel yang menimbulkan terorisme, yakni ideologi, pengikut, dan ketidakadilan. "Ideologi dan pengikut bisa diawasi, tetapi yang namanya ketidakadilan ini sulit diprediksikan," katanya.
Da'i berkata,"Jadi, jangan sampai ada ketidakadilan yang mencolok mata sehingga mendorong masyarakat untuk menjadi pengikut dalam suatu ideologi yang menggunakan teror dan kekerasan untuk mencapai keinginannya." (Antara/Agt)
Post a Comment