Warsiyah, Benih untuk Perubahan Iklim



Oleh Idha Saraswati Wahyu Sejati

Pemahaman Warsiyah (52) tentang istilah perubahan iklim baru muncul akhir-akhir ini. Namun, sebagai seorang petani yang sudah puluhan tahun bergumul dengan lumpur sawah, ia merasakan perubahan di sawah sejak lama. Beruntung ia terbiasa mandiri sebagai petani. Petani bisa mengantisipasi kerugian akibat perubahan iklim dengan kembali pada benih-benih padi lokal yang selama ini ditinggalkan.Di daerah asalnya, yakni di Desa Kalensari, Widasari, Indramayu, Jawa Barat, penanda perubahan itu antara lain tampak dari hawa di sawah yang semakin panas. Tanaman sampai layu karena tak tahan hawa panas. Pasokan air ke sawah juga tak lagi selancar dulu.

Petani memang menjadi salah satu pihak yang paling merasakan dampak negatif perubahan iklim. Patokan musim tak lagi berlaku seiring dengan perubahan kondisi lahan. Perubahan itu membuat petani salah prediksi sehingga jerih payah mereka sia-sia.

Belajar dari pengalaman, Warsiyah mengerti perubahan kondisi lahan menuntut perubahan perlakuan. Benih padi yang sebelumnya cocok di sawah, kelak tidak akan lagi sesuai. Sebab, sejumlah lahan sawah yang dulu cukup pasokan air kini mulai mengering.

"Kalau benih pabrik itu kan dibuatnya secara nasional. Jadi kalau kondisi tanah di daerah berubah, benih itu belum tentu sesuai dengan kondisi tanah di daerah," kata Warsiyah, saat ditemui awal Oktober lalu dalam sebuah pelatihan pemuliaan tanaman di Yogyakarta.

Namun, kesimpulan semacam itu justru membuat Warsiyah lega. Ia merasa siap menghadapi perubahan itu karena telah memiliki cadangan benih padi yang tak biasa dalam jumlah besar.

Sejak lama, ia telah menjadi kolektor benih-benih padi lokal yang kini jumlahnya semakin langka akibat kebijakan penyeragaman benih padi secara nasional. Ia juga sudah menyilangkan padi dari benih-benih itu hingga menghasilkan ratusan jenis padi baru.

Pemulia

Sebelum mendapat ilmu tentang teknik pemuliaan tanaman, Warsiyah yang menjadi petani sejak belasan tahun juga menanam benih buatan pabrik di sawahnya. Kebiasaan semacam itu sudah berlangsung sejak awal 1980-an, yakni ketika petani di desanya mulai diajak beralih dari benih padi lokal ke varietas baru yang berumur lebih pendek dan menghasilkan lebih banyak beras.

Meski begitu, petani mengenal benih pabrik sebagai benih yang kurang tahan serangan hama.

Kebiasaan Warsiyah mengonsumsi benih pabrik berubah setelah dirinya mengikuti pelatihan yang diadakan Yayasan Farmer’s Initiative for Ecological Livelihood and Democracy (FIELD) Indonesia pada tahun 2002. Waktu itu, ia bersama sejumlah petani Indramayu diajak mengkaji padi hibrida yang ternyata keturunannya tidak bisa ditanam ulang oleh petani.

"Itu kan bahaya. Petani tidak bisa seperti orang dulu yang mengambil benih dari lahan sendiri untuk ditanam sendiri," ungkapnya.

Selain mengkaji padi hibrida, dari pelatihan itu Warsiyah yang lulusan sekolah dasar juga mendapat teori sekaligus praktik pemuliaan tanaman. Berbekal ilmu barunya, Warsiyah mencoba menyilangkan padi sendiri. Untuk menunjang percobaannya, ia mulai mengumpulkan benih-benih padi lokal di sekitar Indramayu, seperti gundil, jalawara, cengkong, glewang, warong, serta jambon.

Saat berada di Yogyakarta, ia membawa sebagian koleksi benihnya. Dikemas dalam wadah bohlam lampu pijar, benih-benih itu ada yang berwarna putih, merah, dan hitam. Ia juga membawa benih ketan lokal. Benih lokal dianggap penting karena terbukti lebih cocok beradaptasi dengan lingkungan setempat.

Benih-benih itu ternyata masih disimpan oleh petani desa dan bisa ditebus dengan harga mulai dari Rp 10.000 per malai. Sampai sekarang ia mengaku sudah mengoleksi sekitar 30 jenis benih padi dan ketan lokal. Benih-benih itu sering ditukar dengan benih milik petani lain di desanya yang telah ikut menjadi pemulia. "Jadi, kalau ada tetangga yang punya varietas lain kami bisa saling pinjam," ujarnya.

Dengan benih-benih itu, ia membuat ratusan kombinasi penyilangan. Tujuan utamanya adalah mencari varietas unggulan yang bisa bertahan hidup meskipun pasokan air kurang; tahan serangan hama; produktivitas tinggi dan umur panen pendek. Dalam kasus perubahan iklim, petani akan memerlukan benih padi yang bisa bertahan dalam lahan minim air.

Menurut dia, mencari varietas unggul seperti orang Jawa mencari jodoh. Bobot, bibit, dan bebet benih sangat diperhitungkan. Seorang pemulia mesti memahami karakteristik tanaman. Ada padi yang tahan hama dan produktivitasnya tinggi, tapi rasanya tidak enak. Ada juga padi yang rasanya enak, tapi produktivitasnya rendah.

Dengan mengenali kelebihan dan kelemahan setiap jenis padi, jalan menuju penemuan varietas unggulan akan semakin terbuka. "Tinggal nanti bagaimana hasil persilangannya. Kalau untuk lahan yang airnya kurang, varietas padi yang biasa ditanam di ladang seperti padi gogo bisa jadi indukan," tuturnya.

Warsiyah menyilangkan jenis-jenis padi itu dan kemudian menanam hasilnya dalam lahan seluas 5.000 meter persegi. Akibatnya, bulir padi yang ia hasilkan saat panen tidak seragam, baik dari bentuk, sifat, maupun rasa. Untunglah hasil panen itu tetap diterima pedagang sehingga ia bisa mendapat pemasukan.

Tahun ini Warsiyah sudah menghasilkan 104 varietas padi baru. Namun, hingga lebih dari lima tahun menjadi pemulia, varietas unggul yang diidam-idamkannya belum juga muncul.

Membagi ilmu

Meski punya obsesi menemukan varietas unggulan, Warsiyah tidak lantas menyendiri dengan bunga-bunga padi. Ilmu yang ia peroleh dari pelatihan dan praktik langsung di sawah tidak dimanfaatkan sendiri. Ia aktif membagikan ilmu dan pengalamannya ke sejumlah kelompok petani di Indramayu serta daerah lain di Indonesia. Selain petani, dosen, dan mahasiswa, rombongan petani dari negara lain juga kerap datang ke tempatnya untuk melakukan studi banding.

Pengalaman bergelut dengan bunga padi juga membuat dia pandai menyilangkan jenis tanaman lain, terutama sayuran. Ilmu itu pun telah ia bagi setiap kali menjadi pemateri pelatihan di sejumlah tempat. Berdasarkan pengalamannya sendiri, ia percaya bahwa petani bisa diajak berubah.

Bagi Warsiyah, menjadi petani pemulia berarti memilih menjadi pemain. Dengan menjadi pemulia, petani lebih aktif sehingga bisa mengurangi ketergantungan kepada pihak lain. Kemandirian itulah yang dibutuhkan petani untuk menghadapi setiap perubahan yang terjadi di lingkungan mereka.


BIODATA WARSIYAH

• Lahir: Indramayu, 27 Juni 1957
• Pendidikan: Lulusan sekolah dasar
• Istri: Amna
• Anak: Ikhwan (38), Khumaiyah (35), Kadir (36), Nasuka (33), dan Taningsih (29)
• Aktivitas: Koordinator Sains Petani pada Ikatan Petani Pengendali Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI) Kabupaten Indramayu, Jawa Barat
Powered by Blogger.