Mimi Rasinah dan Tari Topeng Indramayu (Bag 2)



Indramayu - Minat kalangan pemerhati kesenian tersebut yang bertekad merevitalisasi kesenian Tari Topeng Indramayu menebarkan manisnya juga untuk Rasinah. Ia pun diminta untuk menari di berbagai tempat. Bukan sekedar panggung-panggung hajatan di kampung-kampung. Tapi, termasuk juga pentas-pentas di gedung-gedung kesenian di kota besar, di dalam dan luar negeri. Luar biasa!

Gubuk yang tadinya nyaris runtuh karena tidak pernah mendapat perhatian, perlahan-lahan ia bangun kembali. Bahkan, ia pun berhasil membangun sanggar sederhana di salah satu sudut rumahnya. Teman berlatihnya pun bukan hanya Aerli, cucunya. Tapi, anak-anak lain berdatangan untuk meminta juga “harta karun” yang dimiliknya. Seiring dengan itu, panggilan-panggilan untuk menari pun tidak pernah lagi berhenti.

Maka, Rasinah yang oleh murid-muridnya dipanggil Mimi (nenek) telah mendapati kegemilangan nan tiara di hari tuanya. Ia bisa tersenyum bahagia saat meyakini bahwa keteguhannya mendalami Tari Topeng Indramayu membuahkan panen besar. Ia bisa tertawa gembira saat mensyukuri bahwa kesungguhan mengawal kesenian tradisional itu memberikan manfaat tak terhingga. Sehingga, ia pun bisa melupakan kepahitan dan rintangan yang selama menempa perjalanan berkesenianannya dan kehidupan nyatanya.

Kita bisa mengatakan apa yang terjadi pada Mimi Rasinah karena keterpaksaan. Ia terpaksa bertahan dengan kemiskinan dan kepapaannya sebagai seniman tradisional, karena ia tidak memiliki kemampuan lain. Ia terus menekenuni Tari Topeng Indramayu karena tidak ada pilihan lain. Pendapat itu tidak salah. Sama sekali tidak salah.
Tapi, fakta juga berbicara, dengan kemiskinan dan kepapaan itu justru ia terus menari. Padahal ia tidak lagi mendapat panggilan dan memiliki panggung tetap. Ia menari untuk dirinya sendiri dan di “panggung” yang teramat sempit di dalam gubuknya. Ia juga menari sambil membagi “kesenimannya” pada orang terdekat. Kedua hal itu merupakan pertanda kesungguhan untuk mempertahankan hidup dan terus berbagi.

Rasinah laksana setangkai suket (rumput). Suket tidak menyesali kemiskinan, kepapaan, dan kenyataan diri, yang memang berada di bawah. Ia terus bersemangat, bersungguh-sungguh, dan tabah, untuk memulai mengisi pagi. Bahkan, dengan “panggung” yang teramat sederhana, ia terus “berkesenian”. Dan, dengan suka-cita, rona hijau ditebarkan ke sekelilingnya. Ia bertahan dan memberi. Sebuah ajaran cinta terdalam, yang tidak lagi berpikir tentang keberadaan diri dan imbalan atas penebaran cinta itu sendiri.

Yang dilakukan Rasinah saat persoalan-persoalan hidup memburunya tanpa henti adalah memasrahkannya kepada Yang Mahamemberi. Keluh-kesah, penyesalan, putus asa, apatis menghadapi hidup, justru hanya akan menyurut semangat bertahan dan kesungguhan memberi. Sehingga, tanpa proklamasi dan pengumuman yang berlebih, ia memang menunjukkan kebangkitannya sebagai khalifah. Tanpa berpikir tentang hakekat hijrah nurani yang sering diungkap oleh Kalangan Sufi, ia justru telah melakukannya dengan istiqomah.

Kebangkitan itu sendiri tidak identik dengan pelarian atas kepungan masalah atau kemadekan karier. Tapi, “pribadi nan tercerahkan” adalah pilihan lain dari hidup ini. Siapa pun boleh hidup dengan pilihan apanya masing-masing. Entah terus menjunjungi semangat mimpi, keinginan, cita-cita, dan ambisi, untuk meraih kebahagiaan duniawi. Atau, mencoba meraih target kebahagiaan di alam lain. Terserah saja.

Yang pasti, Rasinah telah memperlihatkan contoh menarik, untuk memilih pilihan yang lain. Sebuah target, yang bisa jadi, tidak lazim dan tidak popular. Tapi, bila hal itu bisa menenangkan batin, sekaligus mampu membangkitkan semangat, kesungguhan, ketekunan, dan kegigihan, untuk mendapati hidup itu sendiri, serta menikmatinya dengan penuh kemenangan.

Di usia senjanya sekarang, Rasinah nyaris tak bisa lagi menggerakkan tangan, menghentakkan kaki, dan memancangkan topeng di wajahnya. Bahkan, serangan stroke memaksanya untuk bolak-balik ke rumahsakit. Tragisnya, karena ketiadaan biaya, keluarganya sampai berkeinginan menjual topeng-topengnya. Satu-satunya keperkasaan yang masih ditorehkan seorang Rasinah, di tengah ketidakberdayaannya, ialah ketetapan hatinya memaksakan diri untuk mengawasi murid-muridnya setiap kali berlatih menari. Subhanallah.

“Yang membuat kami terharu dan yang paling berkesan, ia pernah mengatakan bahwa ia akan mati di atas panggung,” tutur salah seorang cucunya Edi Suryadi dalam film dokumenter “dua Perempuan” produksi Matahati Productions, 2007, yang mengangkat cerita tentang Rasinah dan Masnah, penyanyi Gambang Kromong terkemuka.
Powered by Blogger.