Ratusan Hektare Hutan Mangrove Indramayu Rusak

Indramayu - Ratusan hektare hutan mangrove di Kabupaten Indramayu rusak oleh faktor alam dan manusia. Sementara upaya rehabilitasi oleh Pemkab Indramayu hanya 60 persennya yang berhasil. 
Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Indramayu Munzaki, Kamis (16/4/2015), mengatakan, kerusakan hutan mangrove di Kabupaten Indramayu didominasi oleh faktor alam, seperti abrasi dari laut, sedimentasi dari sungai, dan banjir. 

Namun, ada pula kerusakan oleh oknum masyarakat yang kurang bertanggung jawab terhadap kelestarian hutan mangrove. "Dominan sih oleh faktor alam sebanyak 85 persen, sedangkan oleh manusia 15 persen," tuturnya.

Berdasarkan data statistik kehutanan dan perkebunan tahun 2008 Dishutbun Kabupaten Indramayu, luas lahan hutan mangrove tersebar di 9 kecamatan dan 24 desa. 

Penyebarannya, yaitu di Kecamatan Pasekan dengan total 3.925 ha, Indramayu (718 ha), Krangkeng (345 ha), Karangampel (25 ha), Junti (35 ha), Cantigi (3.817,82 ha), Losarang (2.479,17 ha), Kandanghaur (723,42 ha), dan Kecamatan Sukra (50 ha). Totalnya luas lahan hutan mangrove Kabupaten Indramayu sebesar 12.118,55 ha.

Menurut Munzaki, total luas lahan hutan mangrove itu terbagi atas dua kawasan, yaitu dalam kawasan seluas 8.023 hektare dan luar kawasan seluas 4.095 ha. 

"Untuk dalam kawasan dikelola oleh Perum Perhutani, sedangkan yang di luar kawasan dikelola oleh Dishutbun Kabupaten Indramayu," ucapnya.

Untuk data luas mangrove yang tertanam, dia mengaku, pihaknya hanya memiliki luas mangrove tertanam berdasarkan citra satelit Iconos tahun 2010 yang berada di luar kawasan seluas 777,80 ha dari luas lahan sekitar 4.000 ha. 

Sementara data luas mangrove tertanam yang berada di dalam kawasan, Munzaki menyebutkan sekitar 16 persen dari 7.930 ha atau sebesar 1.268 ha yang tertanam.

Dari luas lahan mangrove, baik di dalam maupun di luar kawasan, kata Munzaki, terjadi penurunan luas lahan meski tidak signifikan. Penurunan luas lahan tersebut disebabkan oleh abrasi pantai, misalnya yang di dalam kawasan berdasarkan data 2008, dari luas 8.023 ha menjadi 7.930 ha. Sementara yang di luar kawasan, dari 4.095 ha berkurang menjadi sekitar 4.000 ha.

Namun, Munzaki mengaku tak memiliki data faktual dan konkret hasil survei di lapangan, terutama di dalam kawasan yang dikelola oleh Perum Perhutani. 

"Jujur saja kami lemah di data. Kalau yang di dalam kawasan, itu di luar kewenangan kami. Tapi, akan saya instruksikan untuk kerja sama dengan Perum Perhutani untuk khusus menangani data. Nanti akan diakumulasikan," ucapnya.

Munzaki beralasan, minimnya data yang dimiliki Dishutbun disebabkan oleh alokasi anggaran dan personel yang terbatas. Sementara itu, wilayah yang harus dipantau cukup luas dan sulit.

Di samping minim data, Dishutbun Indramayu pun tidak mengetahui secara riil kerusakan hutan mangrove hingga saat ini. Pasalnya, kata Munzaki, pihaknya mengandalkan laporan dari masyarakat atau kelompok tani hutan binaan Dishutbun. "Mulai ada laporan kerusakan tahun 2013 seiring dengan dibentuknya satgas, tetapi dalam skala kecil," katanya.

Meskipun demikian, Dishutbun pun melakukan langkah-langkah rehabilitasi sejak 2004 dengan penanaman mangrove seluas 3.640 ha. Akan tetapi, tingkat keberhasilan tumbuh kembangnya sangat dipengaruhi banyak hal, seperti faktor alam dan manusia.

Dari jumlah penanaman itu, dia memperkirakan, hanya 60 persennya yang berhasil tumbuh. "Abrasi dan banjir besar pada Januari 2014 sangat berdampak juga. Apalagi, anomali cuaca ekstrem berupa angin barat pada Desember hingga awal Maret," ungkapnya.

Kuwu Desa Karangsong Kecamatan Indramayu, Duloh, yang ditemui di kawasan mangrove, mengutarakan, sekitar 10 km panjang pantai di Kecamatan Indramayu terkena abrasi. 

Kerusakan itu membentang pada empat desa, yakni Desa Karangsong, Desa Pabean Udik, Desa Berondong, hingga Desa Pabean Ilir. "Kerusakan paling parah akibat abrasi terjadi di Desa Pabean Udik," ujarnya.

Hal itu pun dibenarkan oleh Ketua Kelompok Tani Hutan Pabean Udik, Desa Pabean Udik, Kecamatan/Kabupaten Indramayu, Abdul Latif, yang mengaku wilayah pantainya rentan terkena abrasi. 

Hal itu semakin berdampak ketika ada peralihan aliran Sungai Cimanuk yang awalnya dibuang ke Desa Pabean Ilir, kini dibuang ke Desa Lamarantung. "Itu merupakan dampak fatalnya. Ternyata, mangrove pun tak bisa menahan abrasi besar," ucapnya.

Dia menjelaskan, pada 2004, hutan mangrove yang dijaga oleh kelompoknya sekitar 50 ha, tetapi kini tinggal 20 ha. Hal itu disebabkan oleh abrasi pantai yang setiap tahunnya menghabiskan sekira 30-50 meter.

"Upaya penambahan pun ada, tetapi yang namanya swadaya masyarakat tetap saja terbatas. Makanya, perlu dukungan berbagai pihak," ungkapnya.


Penulis: Asep Budiman/A-89
Sumber:PRLM
Powered by Blogger.