Gelombang Tinggi, TPI Tak Beroperasi
Indramayu - Gelombang tinggi akibat tiupan angin kencang yang melanda perairan
Indramayu, membuat sejumlah tempat pelelangan ikan (TPI) tidak bisa
beroperasi. Para nelayan pun terpaksa menggantungkan hidupnya dari
berutang.
Berdasarkan informasi, sejumlah TPI yang kini sudah tidak beroperasi, di antaranya TPI Tegalagung, Kecamatan Karangampel, yang tidak beroperasi sejak tiga minggu yang lalu.
Berdasarkan informasi, sejumlah TPI yang kini sudah tidak beroperasi, di antaranya TPI Tegalagung, Kecamatan Karangampel, yang tidak beroperasi sejak tiga minggu yang lalu.
Selain itu, TPI Dadap Kecamatan Juntinyuat, yang berhenti beroperasi
sejak dua minggu lalu, dan TPI Glayem Kecamatan Juntinyuat, yang
berhenti beroperasi sejak seminggu yang lalu.
Selain itu, TPI Lombang dan Limbangan di Kecamatan Juntinyuat, serta TPI Majakerta Kecamatan Balongan, yang juga tidak beroperasi pascalebaran Idul Fitri lalu.
"TPI-TPI itu berhenti beroperasi karena memang tidak ada ikan hasil tangkapan nelayan," ujar Sekretaris KUD Sri Mina Sari Glayem Kecamatan Juntinyuat, Dedi Aryanto, Senin (26/8).
Dedi menjelaskan, sejak tiga minggu yang lalu, ribuan nelayan tradisional di Kabupaten Indramayu memang tidak melaut.
Selain itu, TPI Lombang dan Limbangan di Kecamatan Juntinyuat, serta TPI Majakerta Kecamatan Balongan, yang juga tidak beroperasi pascalebaran Idul Fitri lalu.
"TPI-TPI itu berhenti beroperasi karena memang tidak ada ikan hasil tangkapan nelayan," ujar Sekretaris KUD Sri Mina Sari Glayem Kecamatan Juntinyuat, Dedi Aryanto, Senin (26/8).
Dedi menjelaskan, sejak tiga minggu yang lalu, ribuan nelayan tradisional di Kabupaten Indramayu memang tidak melaut.
Hal itu terjadi akibat tingginya gelombang di laut, yang mencapai
sekitar tiga meter. Kondisi tersebut dapat mengancam keselamatan nelayan
jika memaksakan diri melaut.
Selain membahayakan nyawa nelayan, Dedi melanjutkan, tingginya gelombang di laut dan kencangnya tiupan angin juga membuat jaring sulit ditebar di laut. Ditambah lagi, ikan di laut pun saat ini sulit diperoleh.
"Karenanya nelayan lebih memilih tidak melaut daripada bahaya dan menghabiskan modal sia-sia," tutur Dedi.
Namun, Dedi menerangkan, kondisi tersebut sangat mempengaruhi produksi ikan hasil tangkapan nelayan. Dia memperkirakan, produksi ikan saat ini turun sekitar 60 persen dari kondisi biasanya.
Padahal, kata Dedi, dalam kondisi normal, transaksi ikan di TPI Glayem mencapai Rp 30 juta per hari. Namun sejak seminggu terakhir, tidak ada transaksi sama sekali.
Menurut Dedi, kondisi tersebut membuat harga ikan di pasaran menjadi mahal. Selain itu, permintaan ikan dari berbagai daerah juga tinggi. Namun, hal itu tidak bisa dipenuhi oleh nelayan. "Sekarang nasib nelayan (tradisional) malah terpuruk," ujar Dedi.
Dedi mengungkapkan, untuk bertahan hidup, para nelayan banyak yang menggantungkan hidupnya dari berhutang. Selain kepada juragan kapal, utang juga dilakukan ke warung-warung kelontong.
Hal itu seperti yang dialami seorang nelayan di Desa Dadap, Kecamatan Juntinyuat, Wamin. Dia mengatakan, sejak gelombang tinggi terjadi, dia secara otomatis tak bisa lagi mencari ikan. Akibatnya, tidak ada pemasukan untuk membuat asap dapur tetap mengebul.
Dalam kondisi normal, Wamin mengaku biasa melaut untuk mencari ikan teri. Dengan perahu jenis sope, ikan teri yang diperolehnya kurang lebih lima kilogram per hari. Setelah dipotong kebutuhan perbekalan melaut, uang yang bisa dibawa pulang sekitar Rp 30 ribu – Rp 40 ribu per hari.
"Tapi sekarang boro-boro, sepeser pun tidak ada karena saya tak bisa lagi melaut," tutur Wamin.
Wamin mengaku, terpaksa berutang kepada juragan kapal maupun ke warung sayur untuk bertahan hidup sehari-hari. Utang tersebut akan dibayarnya jika sudah kembali melaut.
Seperti diketahui, memasuki Agustus, sejumlah daerah di wilayah Cirebon dilanda angin kencang atau yang dikenal dengan istilah angin timur atau angin kumbang.
Selain membahayakan nyawa nelayan, Dedi melanjutkan, tingginya gelombang di laut dan kencangnya tiupan angin juga membuat jaring sulit ditebar di laut. Ditambah lagi, ikan di laut pun saat ini sulit diperoleh.
"Karenanya nelayan lebih memilih tidak melaut daripada bahaya dan menghabiskan modal sia-sia," tutur Dedi.
Namun, Dedi menerangkan, kondisi tersebut sangat mempengaruhi produksi ikan hasil tangkapan nelayan. Dia memperkirakan, produksi ikan saat ini turun sekitar 60 persen dari kondisi biasanya.
Padahal, kata Dedi, dalam kondisi normal, transaksi ikan di TPI Glayem mencapai Rp 30 juta per hari. Namun sejak seminggu terakhir, tidak ada transaksi sama sekali.
Menurut Dedi, kondisi tersebut membuat harga ikan di pasaran menjadi mahal. Selain itu, permintaan ikan dari berbagai daerah juga tinggi. Namun, hal itu tidak bisa dipenuhi oleh nelayan. "Sekarang nasib nelayan (tradisional) malah terpuruk," ujar Dedi.
Dedi mengungkapkan, untuk bertahan hidup, para nelayan banyak yang menggantungkan hidupnya dari berhutang. Selain kepada juragan kapal, utang juga dilakukan ke warung-warung kelontong.
Hal itu seperti yang dialami seorang nelayan di Desa Dadap, Kecamatan Juntinyuat, Wamin. Dia mengatakan, sejak gelombang tinggi terjadi, dia secara otomatis tak bisa lagi mencari ikan. Akibatnya, tidak ada pemasukan untuk membuat asap dapur tetap mengebul.
Dalam kondisi normal, Wamin mengaku biasa melaut untuk mencari ikan teri. Dengan perahu jenis sope, ikan teri yang diperolehnya kurang lebih lima kilogram per hari. Setelah dipotong kebutuhan perbekalan melaut, uang yang bisa dibawa pulang sekitar Rp 30 ribu – Rp 40 ribu per hari.
"Tapi sekarang boro-boro, sepeser pun tidak ada karena saya tak bisa lagi melaut," tutur Wamin.
Wamin mengaku, terpaksa berutang kepada juragan kapal maupun ke warung sayur untuk bertahan hidup sehari-hari. Utang tersebut akan dibayarnya jika sudah kembali melaut.
Seperti diketahui, memasuki Agustus, sejumlah daerah di wilayah Cirebon dilanda angin kencang atau yang dikenal dengan istilah angin timur atau angin kumbang.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Jatiwangi,
Kabupaten Majalengka pun mengimbau masyarakat untuk mewaspadai dampak
buruk dari kondisi tersebut.
"Kewaspadaan terutama untuk daerah yang terletak di dataran rendah (Cirebon dan Indramayu) karena tiupan angin akan langsung menghantam daratan tanpa ada pegunungan yang menghalangi," ujar Kepala BMKG Stasiun Jatiwangi, Pujiono.
Pujiono mengatakan, kewaspadaan terhadap tiupan angin kencang itu di antaranya harus dilakukan para nelayan di perairan Jawa. Dia menyatakan, tiupan angin saat ini bisa menimbulkan gelombang dengan ketinggian hingga tiga meter.
Kondisi tersebut, menurut Pujiono, bisa membahayakan pelayaran, terutama nelayan yang menggunakan perahu kecil. Oleh sebab itu, dia mengingatkan agar nelayan kecil sebaiknya tidak melaut terlebih dulu. (Lilis/ROL)
"Kewaspadaan terutama untuk daerah yang terletak di dataran rendah (Cirebon dan Indramayu) karena tiupan angin akan langsung menghantam daratan tanpa ada pegunungan yang menghalangi," ujar Kepala BMKG Stasiun Jatiwangi, Pujiono.
Pujiono mengatakan, kewaspadaan terhadap tiupan angin kencang itu di antaranya harus dilakukan para nelayan di perairan Jawa. Dia menyatakan, tiupan angin saat ini bisa menimbulkan gelombang dengan ketinggian hingga tiga meter.
Kondisi tersebut, menurut Pujiono, bisa membahayakan pelayaran, terutama nelayan yang menggunakan perahu kecil. Oleh sebab itu, dia mengingatkan agar nelayan kecil sebaiknya tidak melaut terlebih dulu. (Lilis/ROL)
Post a Comment