Tekan Trafficking, Warga Bongas, Indramayu, Dirikan Sekolah Terbuka

Indramayu - Menemukan Kecamatan Bongas tidaklah sulit. Daerah itu sedikit masuk sekitar 2 kilometer arah selatan dari jalan raya pantura, Kandang Haur. Meski tergolong desa, dengan pemandangan kanan-kiri sawah, jangan heran jika di kecamatan itu bisa ditemukan jasa pengiriman uang seperti Western Union yang dikelola perorangan.

Jasa tersebut melayani pengiriman uang para TKI kepada keluarganya di kampung itu. Kecamatan Bongas memang salah satu kawasan yang terkenal karena banyak warganya yang menjadi korban trafficking. Banyak anak muda di daerah itu yang dipekerjakan di kota-kota besar di Indonesia maupun menjadi migrant worker. Baik pekerja legal maupun ilegal.

Berdasar data yang dihimpun sejumlah LSM setempat, selama ini 4 di antara 10 anak perempuan di bawah umur di desa itu menjadi korban trafficking. Ironisnya, mereka menjadi pekerja seks yang mengisi lokalisasi di sejumlah kota besar di Indonesia maupun luar negeri.

Dari fenomena itulah, sejumlah warga desa tersebut tergerak untuk mencegah, sehingga terbentuklah Yayasan Kusuma Bongas. Yayasan itu berawal dari peran Yayasan Kusuma Buana (YKB) di Jakarta. Dari pendampingan YKB Jakarta terhadap korban trafficking, ternyata banyak di antara mereka yang berasal dari Bongas, Indramayu. “Di situlah YKB Jakarta kemudian berpikir kenapa tidak membentuk cabang yang bertugas membendung trafficking sejak di kampung Indramayu” Akhirnya, dibentuklah Kusuma Bongas,” jelas Ketua Harian Yayasan Kusuma Bongas, Indramayu, Syarifudin.

YKB Jakarta sebagai funding lantas merekrut tenaga-tenaga sukarelawan. Termasuk, Syarifudin dan sejumlah warga setempat yang mulai tergerak untuk menyelamatkan generasi muda di wilayahnya. Lantaran berasal dari kampung tersebut, sejumlah sukarelawan itu paham betul penyebab trafficking besar-besaran dari Bongas. Syarifudin menyebutkan, ada lima faktor penyebab terjadinya perdagangan orang, khususnya anak-anak perempuan di kampungnya. “Dari lima itu, yang paling utama dan menjadi sumber segala sumber adalah banyaknya anak putus sekolah. Mereka hanya tamatan SD,” terangnya.

Berdasar data Kusuma Bongas pada 2003, di Bongas saat itu terdapat 31 sekolah setingkat SD, sedangkan SMP-nya hanya satu. “Bisa dibayangkan, lulusan SD sebanyak itu tidak mungkin tertampung hanya di satu SMP. Kalaupun mereka mau sekolah di luar Bongas, ya pasti berat karena keluar biaya untuk transport,” terang Nono Taryono, pengurus lain Yayasan Kusuma Bongas.

Anak-anak yang tidak melanjutkan sekolah tersebut biasanya menganggur setahun hingga dua tahun. Kondisi itulah yang paling rentan terhadap masuknya upaya perdagangan orang, terutama bagi anak perempuan. “Hal semacam itulah yang biasanya dimanfaatkan para sponsor (calo) yang memang sudah memiliki channel ke sejumlah lokalisasi maupun PJTKI. Mereka mendatangi orang tua si anak untuk memberikan iming-iming pekerjaan,” terang Nono yang juga mengaku mantan calo penyedia pekerja seks untuk lokalisasi di Bengkulu tersebut.

Untuk memecahkan masalah itu, akhirnya Kusuma Bongas menggagas pendirian sekolah terbuka setingkat SMP. Sekolah tersebut berada di Desa Bongas Pentil, Kecamatan Bongas. Sekolah yang didirikan pada 2003 itu hingga kini masih menumpang di bangunan SDN Bongas II. Sekolah tersebut berada persis di depan sekretariat Yayasan Kusuma Bongas.

Pada awal pendiriannya, Yayasan Kusuma Bongas melibatkan seluruh ketua RT untuk mendata warganya yang putus SD. Orang tua mereka kemudian didatangi untuk “dipaksa” agar anaknya melanjutkan ke SMP terbuka secara gratis.

Syarifudin mengungkapkan, SMP terbuka Kusuma Bongas tidak sekadar mengajarkan materi akademis. Enam hari waktu efektif sekolah dibagi menjadi tiga hari untuk pengajaran akademis sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Tiga hari lainnya pembekalan materi life skill. “Kami memantau betul aktivitas anak-anak. Kalau ada yang tiga hari berturut-turut tidak masuk, kami datangi ke rumahnya. Kami cek kenapa tidak hadir,” ujarnya.

Selain mendirikan SMP terbuka, Kusuma Bongas membuka taman bacaan di dua tempat di Kecamatan Bongas. Tujuannya, menumbuhkan minat belajar anak-anak di luar jam sekolah. Sebab, kurangnya minat belajar itu, menurut Kusuma Bongas, menjadi faktor kedua pendukung suburnya trafficking.

Syarifudin menyatakan, dalam sekolah itu, pihaknya juga “mencuci otak” siswa tentang bahaya trafficking yang bisa berdampak pada terjangkitnya penyakit menular. “Kenapa perlu kami lakukan seperti itu? Sebab, sebelumnya banyak orangtua di sini yang menganggap anaknya korban trafficking dengan bekerja sebagai pekerja seks bukan sesuatu yang tabu,” terangnya.

Pandangan itulah yang menurut Syarifudin menjadi faktor keempat penyebab tingginya korban trafficking di Bongas. Menurut dia, faktor ketiga setelah kurangnya sekolah lanjutan dan minimnya minat belajar ialah rendahnya perekonomian warga. Kebanyakan orang tua di wilayah Bongas bekerja sebagai buruh tani. Nah, meski berpenghasilan rendah, gaya hidup mereka konsumtif. Syarifudin menyatakan, warga di Bongas terkesan saling bersaing. Misalnya, ada tetangga yang membeli motor, tetangga lain berupaya membeli barang serupa, bagaimanapun caranya. Lantaran tidak memiliki life skill lain selain kemampuan bercocok tanam, ujung-ujungnya, mereka rela menjadikan anaknya sebagai pekerja seks sesuai dengan iming-iming para calo yang bergentayangan. “Akhirnya, punya anak menjadi pekerja seks pun bukan hal tabu lagi. Malah ada yang saling membanggakan anaknya karena dianggap bisa mengangkat perekonomian keluarga,” paparnya.

Tidak adanya life skill orang tua itulah yang disebut Syarifudin sebagai faktor kelima tumbuhnya trafficking. Karena itu, selain membekali anak-anak, Kusuma Bongas berupaya memberikan keahlian kepada para orang tua. Salah satu upaya itu ditelurkan dengan memberikan pelatihan menjahit, sablon, dan sebagainya. Hanya, Syarifudin mengaku masih terkendala pemasaran hasil karya para orang tua itu. “Kami masih berupaya mencarikan jalan keluar bagaimana cara efektif memasarkan hasil karya para orang tua,” jelasnya.
Pembekalan terhadap bahaya trafficking membuat banyak siswa SMP terbuka dan lulusannya menjadi agent of change bagi kampungnya. Mereka kerap melaporkan adanya indikasi-indikasi trafficking di sekitarnya. “Misalnya, ada teman mereka yang orang tuanya berupaya didekati calo, mereka melapor ke kami. Bahkan, dari informasi anak-anak itu, kami pernah berhasil menggagalkan pengiriman anak ke Jakarta,” ungkap Sukim, anggota Yayasan Kusuma Bongas lain yang bertindak sebagai koordinator lapangan.
Kebanyakan calo segan kepada para koordinator lapangan seperti Sukim maupun Nono Taryono. Sebab, keduanya sebelumnya memang calo. Sukim, misalnya, menjadi calo sejak 1995 sebelum akhirnya berhenti pada 2003.
Selama kurun delapan tahun itu, tiap bulan dia bisa membawa hingga 10 ABG Indramayu ke sejumlah lokalisasi di Indonesia. Dari sekali mengirimkan anak-anak itu, biasanya dia mendapat fee Rp 100 ribu per anak dari mucikari di lokalisasi. “Dulu, untuk bawa ke Jakarta, ongkos bus saja cuma seribu perak. Jadi, bayangkan sendiri keuntungan yang bisa saya dapat kala itu,” terangnya.
Kini, kata Sukim, tawaran mucikari kepada para calo lebih menggiurkan. Sekali membawa anak, calo minimal diberi fee Rp 500 ribu. Bukan hanya fee saat berhasil mengirimkan anak, mereka juga mendapat komisi per jam dari layanan para ABG selama bekerja di wisma. Misalnya, seorang ABG dalam sebulan di wisma X total melayani tamu 150 jam, calo akan diberi komisi Rp 20 ribu per jam oleh mucikari. Berarti, per bulan calo itu mendapatkan bagian Rp 300 ribu dari wisma X.

Nono pun demikian. Pada 1995, dia sempat berkenalan dengan mucikari yang memiliki sejumlah lokalisasi di Bengkulu. Dari situ, selama dua tahun dirinya pernah memberangkatkan 12 ABG Indramayu untuk menjadi pekerja seks di lokalisasi di daerah Pulau Baai dan Mukomuko.

Sukim maupun Nono menyatakan insaf karena tahu konsekuensi perbuatan itu. Terutama jerat pidana yang bisa mengancam keduanya sewaktu-waktu. “Selain itu, saya mikir, bagaimana kalau anak saya yang seperti itu?” paparnya.

Untuk menebus dosa itulah, keduanya kemudian bersedia menjadi volunteer di Yayasan Kusuma Bongas. SMP Terbuka Kusuma Bongas dalam perjalanannya diklaim telah berhasil menekan angka trafficking, terutama di Kecamatan Bongas. Saat ini, sekolah itu telah meluluskan 152 anak. Sebanyak 90 lulusan di antaranya bahkan diusahakan tetap melanjutkan SMA di PGRI Kandang Haur. “Kami menggandeng PGRI itu untuk memberikan keringanan bagi anak-anak lulusan SMP di Bongas. Ada yang dapat keringanan sampai penggratisan seluruhnya. Bahkan, ada yang dapat mes,” lanjut Syarifudin.

Dia tidak mengelak bahwa praktik trafficking masih terjadi di Bongas. Namun, menurut dia, hal itu kini dilakukan sangat sembunyi-sembunyi.

Wartawan koran ini pada Minggu (30/6) sempat menemui murid SMP Terbuka Kusuma Bongas, Tarifa. Meski hari libur, dia berada di sekretariat Yayasan Kusuma Bongas. Siang itu, dia sedang menjahit baju seragam olahraga pesanan salah satu sekolah. Dengan bekal keterampilan menjahit yang diberikan SMP terbuka, dia kini mendapat penghasilan. Anak ketiga dari enam bersaudara tersebut menegaskan tidak ingin bekerja di luar negeri seperti kebanyakan anak seusianya di Indramayu. “Saya ingin melanjutkan sekolah dan bekerja di sini saja,” ucapnya. (RADAR)
Powered by Blogger.