Untuk Apa Membentuk Provinsi Baru di Perbatasan Jawa Barat - Jawa Tengah?

Setelah ide pembentukan provinsi Cirebon, yang terdiri dari Kabupaten Cirebon, Kota Cirebon, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Kuningan, seperti layu sebelum berkembang, Kompas edisi 3 Juni 2013 memuat berita ide provinsi gabungan 6 kabupaten dan 2 kota di Jawa Barat dan Jawa Tengah, dengan nara sumber Bupati Kuningan, Aang Hamid Suganda.

Dari sisi anggota koalisi Daerah Tingkat II pendukung provinsi baru, Kabupaten Indramayu tidak ikut berkoalisi, tapi ada tambahan anggota, yaitu Kabupaten Brebes, Kabupaten Ciamis, Kota Banjar dan Kabupaten Cilacap.  Delapan daerah yang tergabung dalam Kunci Bersama, pada bulan Mei 2013 lalu menyelengarakan pekan olahraga di Cilacap.

Wacana pembentukan Provinsi Cirebon sebelumnya telah menimbulkan pro kontra, mengingat secara budaya Majalengka dan Kuningan sebenarnya berbeda dengan Indramayu dan Cirebon, persamaannya lima kabupaten dan kota tersebut sama-sama pernah tergabung dalam wilayah ex Karesidenan Cirebon.

Apakah koalisi ex Karesidenan Cirebon -minus Indramayu- bergabung dengan Kabupaten Brebes dan Kabupaten Cilacap di Jawa Tengah serta Kabupaten Ciamis dan Kota Banjar  di ujung timur selatan Jawa Barat akan sukses menjadi sebuah provinsi baru?   Apa yang menjadi perekat ke delapan kabupaten kota tersebut untuk bergabung menjadi provinsi baru?  Kultur di wilayah tersebut jelas tak seragam, bahasa daerah yang digunakan masyarakatpun macam-macam, Sunda, Cirebonan dan Jawa.  Apakah alasan bahwa saat ini 8 daerah tersebut kesulitan akses, perizinan dan pelayanan menuju ibu kota provinsi masing-masing cukup logis diangkat sebagai alasan utama pembentukan provinsi baru?

Mengingat otonomi daerah yang berlaku core-nya ada di Kabupaten-Kota, kenapa tidak diperkuat saja pelaksanaan otonomi daerah di kabupaten kota?  Alasan kesulitan akses, perizinan dan pelayanan ke ibu kota provinsi, juga akan kembali terulang, misalnya ibukota provinsi yang dipilih Cirebon, toh tetap jauh dari Cilacap atau Pangandaran di selatan.  Bila saja tiap kabupaten kota mampu menerapkan sistem online untuk banyak hal terkait pelayanan terhadap masyarakat, maka alasan “jauh” ke ibukota provinsi akan berkurang maknanya, teknologi informasi mendekatkan yang jauh, walaupun bisa juga menjauhkan yang dekat bila kurang tepat menerapkan.

Yang sudah terbayang mahal di depan mata adalah biaya pembangunan fisik pusat pemerintahan provinsi, entah di Cirebon atau di kota lain, biaya birokrasi yang sudah pasti akan sangat besar dengan harus dibentuknya sekretariat daerah, biro-biro, dinas-dinas dan DPRD di lingkungan provinsi baru.  Biaya Pilkada Gubernur juga akan makin membebani  APBN, yang pasti beruntung adalah para pejabat baru mulai Gubernur, Wakil Gubernur, Sekda, para kepala biro dan dinas, juga para anggota DPRD provinsi baru.

Pemerintah Pusat mudah-mudahan tak mudah menyetujui pembentukan provinsi baru tanpa keyakinan provinsi baru mampu memberi kemakmuran kepada masyarakat di wilayahnya.  Sebaiknya pelaksanaan otonomi daerah saja yang diperbaiki untuk memakmurkan rakyat di kabupaten-kota.  Bukankah pernah pula ada wacana Gubernur itu tak perlu dipilih langsung oleh rakyat, cukup oleh DPRD bahkan ada ide Gubernur dipilih oleh Presiden saja, dengan kekecualian di Aceh, Papua, Papua Barat, Jakarta dan Yogyakarta yang mempunyai kekhususan. (Hadi Setiawan)
Powered by Blogger.