Wacana Pemindahan Ibukota : Indramayu Jadi Ibu Kota Indonesia
Indramayu - Dilanda duka holocaust ekologi. Banjir air mata langit mengalir
deras, mengikat warga Jakarta menjadi realitas the suffering others. SBY
melipat celana panjang hingga ke lutut di halaman Istana. Dan,
blusukannya memperlihatkan kantong mata duka yang kian menebal.
"Jakarta tidak bisa lagi menampung interaksi manusia dan
lingkungannya," ungkap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Sabtu (19/1).
Sebab itu, SBY menurut Staf Khusus Presiden Velix Wanggai mengajukan
tiga skenario perpindahan ibu kota. "Pilihan atas opsi ini
berkonsekuensi pada pembenahan total atas soal macet, banjir,
transportasi, permukiman, dan tata ruang wilayah," tuturnya.
Itu sudah! Sesudah itu, layakkah Indramayu menjadi ibu kota
Indonesia? Oh, tentu! Dalam konteks logat-ritme epistomologi, kata
/indramayu/ dan /indonesia/ memiliki tone art- melodieskompleks. Lagi
pula ibukota itu tentu beda dengan bapak kota. Ibukota itu dipastikan
kudu berjenis kelamin feminim.
Saya yakin SBY tentu tahu mana kota berkelamin ibu dan mana pula kota
berkelamin bapak. Tegal, Cirebon, Bandung, Gedebage, Banten,
Palangkaraya, Jogja, Semarang cenderung ekspresikan sosok maskulin. "Dan
Indramayu? Hmm, wadon prigel kemayue keparan-paran," ucap saya untuk
diri saya sendiri.
Feminitas Indramayu juga diakui Kantong Bolong ketika Keraton Cirebon
menjadi tuan rumah temu 70 para ahli sejarah dari keraton se-Nusantara
pada 1677. Seperti ditulis budayawan Supali Kasim dan filolog Edi S
Ekajati dalam polemik Wangsakerta, kegiatan gotrasawala itu, semata-mata
dalam menyusun mata rantai penulisan sejarah di Nusantara.
Tidak jelas apakah Kantong Bolong termasuk salah satu yang hadir
mewakili Dermayu. Yang dicatat sejarah ternyata utusan dari Indramayu
masuk dalam sangga2. Di sini, di kelompok dua ini nimbrung para ahli
sejarah dari Semarang, Kediri, Mataram, Wirasaba, Kediri, Bonang,
Mojoagung dan Lasem.
Gotrasawala berjalan mulus. Pangeran Wangsakerta dkk dalam waktu 21
tahun (1677-1698) mampu menghasilkan 1.700 naskah yang disusun menjadi
buku yang dikenal sebagai Naskah Wangsakerta. Salah satu naskah
Wangsakerta menuturkan pada abad ke-5 ada Kerajaan Manuwara (manu juga
berarti kawruh/tahu/pengetahuan) yang diperkirakan berada di sekitar
sungai Cimanuk.
Kiprah tak ternilai Manuwara tidak bisa dianggap enteng. Pokoknya wow
habis deh! Kenapa? Welutbraja sebagai komandan pasukan Kerajaan
Manuwara mampu memadamkan pemberontakan Cakrawarman di Kerajaan
Tarumanegara.
Itu di abad ke-5. Pada abad ke-8, Naskah Wangsakerta juga tuturkan tentang Manuwara.
Ada kegaduhan antara manusia Melayu dan manusia dari Timur. Ini
membuat perniagaan Cina terpuruk. Hampir setiap hari ada darah muncrat
di lautan ketika Orang Timur dari Kediri bertikai dengan orang Melayu
Sriwijaya. Apa boleh buat areal lautan dibagi dua dengan batas Sungai
Cimanuk.
Sebelah barat Cimanuk sebagai wilayah Sriwijaya dan sebelah timur
Cimanuk termasuk wilayah Kediri. Bagi Kantong Bolong, naskah ini
cenderung meniadakan kebesaran dan keagungan nama Manuwara.
"Indramayu bukan bermula dari manuk (burung) di rawa-rawa! Indramayu
tercipta dari tulang iga peradaban purba yang wow!" teriak Kantong
Bolong, "Indramayu adalah sungai sejarah yang didalamnya mengalir
artefak kearifan kultral dari abad yang lampau. Indramayu adalah ibu
budaya Jawa dan Sunda. Eropa bisa menjadi begitu luar biasa itu
disebabkan dakwah budaya Manukrawa saat membangun perahu Ziusudra selama
118 tahun!"
Kantong Bolong benar! Bermula dari airlah peradaban lahir, mengalir
hingga jauh. Hingga Indramayu menjadi sesuatu yang cetar. Ini bermula
dari air bah! Maklum, air bah diyakini para penziarah sebagai siklus
mitologi Asyur-Babilonia.
Dalam mitologi Yunani ada Deucalion, dari India dituturkan sebuah
banjir dalam kisah Manu, Zoroastrian terwakili tokoh Yima, ada epos
Atrahasis era Ammi-Saduqa, Era Manuwara bernama Tangkup Prahara hingga
Bahtera Nuh yang dituturkan dalam Kitab Kejadian dalam Alkitab Ibrani,
Perjanjian Lama di Alkitab Kristen, dan dalam Kitab Suci Alquran.
Sekitar abad ke-8 SM, ikhwal ini juga pernah melanda Manuwara
(Indramayu). Era itu, bumi merotasi pada pusaran air bah. Dalang wayang
purwa mewartakan dalam kalimat menyentak, "Sperma jagad raya menjadi air
bah untuk mematikan para pendosa." Dan, yang membuat saya mantuk-mantuk
ternyata teks Rajungan Mletek sungguh sangatlah cetar.
"Segara umbel lendir banyu urip/sigra cret blarat muncrat/ manjing
ning sjroning gua garba./Semedot bhumi/rainira kelelep cegut cegut.
/Srengenge kleyar kleyor/Lintang alit dadi silit/Sawiji tan hana
urip/Mung Manu tinemu kebagjan/Tinandur suci/Giut giut manjing rajungan
mletek" (Lautan sperma bersegera muncrat-muncrat memasuki gua garba
jagad raya bergenitika wanita.
Lihat air bah menyedot seisi bumi. Para pendosa ditelan air bah.
Matahari meredup. Bintang tampak melengkung malu-malu. Tidak ada satupun
yang hidup. Hanya sosok manusia suci bernama Manu besua kebahagiaan.
Bagai pohon suci. Terselamatkan ikan rajungan mletek).
Cerita air bah Manuwara ini mirip cerita Ziusudra dalam bahasa
Sumeria. Konon, jagad raya meminta agar Ziusudra membangun kapal besar
sebagai hadiah keabadian untuk para dewata. Ziusudra sempat ragu. Akan
tetapi, setelah berendam di sungai Chi Man Noh (baca Cimanuk) bersama
Manuwara mendapatkan asupan berita langitan bahwa bumi akan ditelikung
banjir bah. Untuk itu perlu kapal yang akan mengarungi air bah.
Ziusudra membuat perahu! Saat air bah menutupi bumi, Ziusudra bersama
umatnya dan tentu saja sambil membawa sang arsitek kapal Manuwara
berlayar menuju Chi Man Noh. Kapal buatan Manuwara mendarat di Gunung
Nizir. Ada yang berpendapat di Pegunungan Corcyræan di Armenia.
Sementara sejarahwan abad ke-3 Eusebius lebih meyakini bahtera perahu
itu mendarat di gunung Tangkup Prahara (baca Tangkuban Perahu).
Indramayu Ibukota Indonesia? Hm, tentu ini wow! Kenapa? Manuwara
(baca Indramayu) lebih memiliki makna manusia kawruh sedurung winarah.
Demi masa yang telah berputar pada ruangnya, Manuwara adalah majasi,
metafor, perumpamaan ketika manusia betawaf menjadi pendakwah
berketuhanan pada zamannya. Manuwara bisa jadi sosok Prabu Puntodewo
atau kerap disebut Yudhistira. Adalah ambarang wayang yang berkelana
alirkan dakwah.
Ia wow banget. Simak, Puntadewa seperti juga Manuwara-dan tentu saja
Tandi Skober- selalu bertutur santun dan lembut. Ia selalu menunduk tiap
kali tapak kakinya melangkah pelan. Tidak aneh manakala Puntodewo kerap
disebut Kun Ta Da'iyan, yang bermakna orang yang selalu berdakwah.
Ah, andai SBY membaca opini ini, tentu dalam anganku Staf Khusus
Presiden Velix Wanggai akan menelpon, "Dikmas Tandi, presiden
mengapresiasi usulan ini. Hanya saja dari ruang murung kramat tunggak
kerapkali ada cerita tentang citra wanita Indramayu yang tak elok. (Tandi Sekober/Tribun)
Post a Comment