2 PRT Asal Indramayu Dianiaya Majikan
Medan - Dua pembantu rumah tangga (PRT) di bawah umur, Munisa (17) dan Khuraini (16) mengaku dianiaya dan tidak digaji selama 1 tahun 3 bulan. Kedua perempuan asal Indramayu, Jawa Barat ini pun mengadu ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Sumatera Utara, Rabu (4/4).
Munisa dan Khuraini mengaku bekerja di rumah majikannya BC di Kompleks Perumahan Graha Sunggal Medan, sejak Januari 2011. Setahun tiga bulan bekerja mereka kerap mendapat kekerasan fisik dari seluruh anggota keluarga majikannya.
"Bahkan, kami pernah dipaksa minum air kencing majikan kami," ujar Munisa.
Selama bekerja di rumah majikannya, Munisa dan Khuraini tidak pernah diberi upah.
"Kata majikan, jangan pernah minta gaji, karena utang kami banyak. Setiap gelas pecah dihargai Rp200 ribu," katanya.
Kedua PRT ini juga ditempatkan di garasi mobil dan tidur di atas kardus. Mereka juga diberi makan sekali sehari. Mereka juga dilarang keluar rumah dengan ancaman orangtuanya di kampung akan di penjara jika mereka kabur. Namun, akhirnya, kedua PRT ini berhasil kabur setelah melompat ke rumah tetangga majikannya akhir Maret lalu.
Tarzana (43), ayah Munisa, mengaku tidak mengetahui anaknya bisa sampai ke Medan. Sepengetahuan dia anaknya bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Jakarta melalui penyalur tenaga kerja Yayasan Sari Bhakti Mandiri.
"Ada perempuan bernama Sunani, masih tinggal di satu kecamatan di Indramayu menawarkan pekerjaan sebagai pembantu di Jakarta kepada anak saya. Katanya akan digaji Rp600.000 sebulan, ternyata nggak ada di Jakarta," ungkapnya.
Ketua KPAID Sumut, Zahrin Piliang menyatakan, ada unsur trafficking dan eksploitasi anak pada kasus yang dialami Munisa dan Khuraini. Pelakunya terancam UU Nomor 21 tahun 2007 tentang tindakan pidana perdagangan orang dengan ancaman hukuman 15 tahun dan denda Rp 500 juta.
Munisa dan Khuraini mengaku bekerja di rumah majikannya BC di Kompleks Perumahan Graha Sunggal Medan, sejak Januari 2011. Setahun tiga bulan bekerja mereka kerap mendapat kekerasan fisik dari seluruh anggota keluarga majikannya.
"Bahkan, kami pernah dipaksa minum air kencing majikan kami," ujar Munisa.
Selama bekerja di rumah majikannya, Munisa dan Khuraini tidak pernah diberi upah.
"Kata majikan, jangan pernah minta gaji, karena utang kami banyak. Setiap gelas pecah dihargai Rp200 ribu," katanya.
Kedua PRT ini juga ditempatkan di garasi mobil dan tidur di atas kardus. Mereka juga diberi makan sekali sehari. Mereka juga dilarang keluar rumah dengan ancaman orangtuanya di kampung akan di penjara jika mereka kabur. Namun, akhirnya, kedua PRT ini berhasil kabur setelah melompat ke rumah tetangga majikannya akhir Maret lalu.
Tarzana (43), ayah Munisa, mengaku tidak mengetahui anaknya bisa sampai ke Medan. Sepengetahuan dia anaknya bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Jakarta melalui penyalur tenaga kerja Yayasan Sari Bhakti Mandiri.
"Ada perempuan bernama Sunani, masih tinggal di satu kecamatan di Indramayu menawarkan pekerjaan sebagai pembantu di Jakarta kepada anak saya. Katanya akan digaji Rp600.000 sebulan, ternyata nggak ada di Jakarta," ungkapnya.
Ketua KPAID Sumut, Zahrin Piliang menyatakan, ada unsur trafficking dan eksploitasi anak pada kasus yang dialami Munisa dan Khuraini. Pelakunya terancam UU Nomor 21 tahun 2007 tentang tindakan pidana perdagangan orang dengan ancaman hukuman 15 tahun dan denda Rp 500 juta.
Post a Comment