Jejak Sejarah "Dhermayu" (Indramayu)

Oleh Ucha M Sarna

Pencarian sumber-sumber sejarah yang sifatnya baru dalam konteks pendekatan obyektivitas sangatlah bermanfaat sebagai antitesis ataupun pengembangan bukti sejarah sebelumnya.

Faktor mendasar itulah yang menginspirasikan kawan-kawan Komunitas Pemotret Indramayu (KoPI) dengan dukungan pemerintah (Kantor Penerangan Kabupaten Indramayu)-sebagai kerangka-dalam mengumpulkan foto-foto lama melalui tajuk "Rekonstruksi Foto-foto Indramayu Tempo Dulu". Kaitannya dengan sejarah, foto merupakan sumber sejarah yang termasuk bagian dari dokumen.

Secara komprehensif, foto adalah bahasa gambar dengan tujuan hakikinya adalah komunikasi-bentuk komunikasi yang dapat dipahami oleh masyarakat dunia. Foto menggambarkan sesuatu yang bersifat riil, konkret, dan tak dapat dibohongi. Dengan demikian, foto sebagai sumber sejarah paling tidak dapat melengkapi bukti-bukti lain dalam kaitannya memenuhi faktualitas sejarah itu sendiri.

Foto-foto lama yang dikumpulkan kawan-kawan KoPI melalui pemiliknya, baik masyarakat maupun organisasi serta lembaga-lembaga literatur yang menyimpan foto tersebut, sedikit banyak mencerminkan tentang dinamika seni dan budaya, infrastruktur dan arsitektur, strata sosial dan ekonomi masyarakat, suasana pedesaan dan perkotaan, tokoh-tokoh yang memiliki kontribusi (berpengaruh) terhadap pembangunan Kabupaten Indramayu, serta kegiatan-kegiatan pemerintah dan masyarakat dalam perspektif sejarah ataupun spirit dinamika kedaerahan yang bersifat desentralistik.

Beberapa foto yang terkumpul dan masih hitam-putih serta terlihat kusam dalam waktu dekat akan dipamerkan ke tiap-tiap kecamatan di Indramayu. Foto-foto tersebut di antaranya menggambarkan nuansa bangunan-bangunan tempo dulu, seperti kantor Asisten Residen, gedung sekolah, Tarub Agung (pendopo), masjid, kelenteng (vihara), gereja, stasiun, hotel, rumah, perkantoran, monumen, jembatan, irigasi, dan pom bensin, yang hampir semuanya diprediksikan dibangun pada masa kolonial.

Kini, sebagian besar bangunan itu runtuh dan tak dapat dinikmati lagi oleh generasi sekarang sebagai jejak sejarah. Sebagian telah berubah fungsi. Sebagai contoh, beberapa bangunan, seperti kantor Asisten Residen, telah dimanfaatkan penduduk setempat sebagai tempat huni dan posyandu. Stasiun tersulap menjadi tempat potong rambut (salon). Hotel menjadi toko jamu.

Patok besi

Salah satu di antara foto itu juga terdapat foto patok besi yang terpacak sepanjang Jalan Siliwangi dan masih dapat dinikmati generasi masa kini. Sayangnya, seiring perkembangan zaman, di mana manusia banyak disibukkan dengan persoalan lain yang dianggap lebih penting, patok besi, yang seyogianya merupakan jejak sejarah masa lalu yang tak membisu, luput dari perhatian masyarakat.

Padahal, tidak menutup kemungkinan, keberadaan patok itu dapat meminimalisasi keraguan tentang benar-tidaknya bahwa dahulu kala hingga masa kolonial Belanda di sekitar Sungai Cimanuk terdapat pelabuhan yang cukup besar dalam skala ukuran pada saat itu. Berbeda halnya setelah melihat foto yang didokumentasikan Nang Sadewo enam tahun lalu tersebut, kita seolah-olah digiring dari ruang indrawi ke ruang kesadaran bahwa patok tersebut merupakan bukti sejarah yang semestinya tak terabaikan.

Selain foto-foto tersebut, terdapat pula referensi foto, seperti pedati kuno di Kecamatan Kerangkeng, masjid kayu di Bondan, tiang bendera di tengah hutan Desa Cemara (diduga peninggalan zaman Belanda di mana tempat yang terdapat tiang itu berfungsi sebagai pos perbatasan Kabupaten Indramayu dengan Subang), lindungan (bangunan yang menyerupai goa/ terowongan), gerbang kota, pabrik es, dan beberapa makam mantan bupati Indramayu.

Selain itu, ada juga foto-foto tokoh-tokoh perjuangan dan masyarakat yang berpengaruh, alat transportasi, jalur rel kereta api di Desa Telukagung, kondisi pasar tradisional, perkampungan China, monumen atau tugu alun-alun (yang mengalami perubahan dari semula berbentuk menyerupai apolo dengan ketinggian sekitar 5 meter menjadi tugu bambu runcing dengan ketinggian sekitar 20 meter yang terpacak di tengah alun-alun kota hingga sekarang), dan foto-foto lainnya yang seolah memanjakan indrawi bagi yang melihatnya.

Lebih dari itu, ruang imajinatif pun seperti memutar kembali peristiwa lama yang menggambarkan situasi dan kondisi masa lalu Indramayu. Apa yang diceritakan lewat bahasa gambar tersebut membuktikan begitu kompleksnya kebudayaan yang berkembang di Indramayu.

Uniknya, selain foto-foto lama yang kusam, KoPI juga mendokumentasikan foto-foto modern (yang berwarna) dalam perspektif bangunan-bangunan pemerintah, monumen, individu manusia dalam profesinya, momen-momen sosial, ekonomi, politik, dan budaya, serta tempat-tempat yang dipercaya memiliki nilai sejarah, baik untuk generasi sekarang maupun generasi akan datang, yang kesemuanya dibidik Nang Sadewo beserta rekan-rekannya. Hal ini dilakukan semata-mata karena mereka tak mau lagi kehilangan sumber dokumen yang mungkin akan berguna untuk kehidupan mendatang.

Belum jelas

Menyinggung tentang sejarah Indramayu yang hingga saat ini asal-usulnya belum jelas oleh sebab belum banyak ditemukan bukti-bukti sejarah yang berkaitan langsung ataupun bersinggungan dengan keberadaan Indramayu, foto-foto yang dikumpulkan kawan-kawan KoPI, meski hanya sebagian kecil, dapat dijadikan rujukan dalam melengkapi data-data sejarah Indramayu, setidaknya saat zaman kolonial atau pertama kalinya kamera masuk ke Indramayu hingga sekarang.

Fakta jejak-jejak sejarah yang terdokumentasikan lewat foto tersebut merupakan mata rantai dari kelengkapan bukti sejarah Indramayu yang masih banyak tercecer hingga ke negeri Belanda, atau sama sekali ilang tampa krana (lenyap tak berbekas).

Bukan hal mustahil, yang dilakukan kawan-kawan KoPI dapat menggugah kegairahan kembali keinginan masyarakat Indramayu untuk lebih jauh mengetahui sejarah Indramayu secara ajek dan faktual sehingga dengan sendirinya dapat meyakinkan keberadaan Indramayu secara historis.

Sebagai catatan, pemahaman atas sejarah sama artinya dengan pemahaman atas budaya. Dengan demikian, memahami budaya berarti memahami tingkah laku dan pola pikir yang mencerminkan kebesaran sebuah bangsa. Bukankah bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah? Melupakan sejarah sama artinya memungkiri keberadaannya sendiri.

UCHA M SARNA Praktisi di Sebuah Komunitas Teater di Indramayu
Powered by Blogger.