Buyut Tambi, Denyut ekonomi pedagang dan seniman lokal

Indramayu - Tujuh hari tujuh malam, makam Ki Buyut Tambi di Desa Tambi, Kecamatan Sliyeg, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat seolah tak pernah sepi. Sejak pagi pasar kaget ramai dipadati pembeli. Siang hari, pergelaran sandiwara kian menyedot jumlah pengunjung di desa itu. Apalagi malam hari, seperti halnya pasar malam, sekitar 3.000 warga memenuhi alun- alun seluas kurang dari 1 hektar.

Tradisi unjungan atau sedekah bumi untuk para leluhur di Tambi menghidupkan perekonomian di desa ini. Setidaknya lebih dari 100 pedagang berkumpul, mengais rezeki selama tujuh hari masa unjungan itu.

Para pedagang tidak hanya berasal dari Tambi. Mereka datang pula dari berbagai kecamatan, bahkan dari Cirebon atau Subang. Mereka adalah pedagang keliling yang memanfaatkan acara-acara semacam unjungan untuk mencari nafkah.

Hasilnya tak mengecewakan. Nurhadi (37), misalnya, bisa meraup untung Rp 75.000-Rp 100.000 per hari dari hasil penjualan tahu goreng. Demikian pula Tarsa (41), pedagang baju dari Arjawinangun, Kabupaten Cirebon. ”Dalam sehari 20 potong baju terjual,” kata Tarsa, yang biasa berkeliling dari kampung ke kampung untuk berjualan baju.

Dalam satu acara unjungan, setidaknya ada sekitar 200 pedagang. Perputaran uang selama tujuh hari dalam acara itu tentu tidak sedikit.

Perputaran uang juga mengalir ke kocek para seniman tradisional karena selama tujuh hari tujuh malam hiburan tidak akan terputus.

Mamak Taham, dalang senior asal Indramayu, mengakui hal itu. Biasanya dalam tujuh hari tujuh malam, acara pasar malam penuh dengan hiburan dan selalu dipadati pengunjung. Dari acara-acara seperti itulah kesenian itu hidup dan bisa berkembang. Ia sendiri mendapatkan pula kesempatan untuk manggung dalam acara kunjungan Ki Buyut Tambi.

Sudibyo, budayawan dari Indramayu yang juga peneliti kesenian tradisional daerah itu, mengatakan, kehidupan para seniman memang banyak ditopang dari berbagai pesta rakyat seperti unjungan Tambi.

Pemain suling, misalnya, bisa mendapatkan hasil Rp 100.000 dalam sehari, dan itu belum termasuk hasil sawer. ”Total, ia bisa membawa pulang uang sampai Rp 500.000 dalam sehari,” ujar Sudibyo.

10 bulan

Acara rakyat seperti unjungan, mapag sri, ataupun sedekah laut, tambah Sudibyo, hanya berhenti saat puasa dan bulan sura. Artinya, 10 bulan lainnya selalu ada tanggapan, bisa dari upacara tradisional atau acara pernikahan dan sunatan.

Di satu sisi, tradisi pesta rakyat menguatkan perekonomian para pedagang kecil dan seniman lokal. Tetapi, di sisi lain, menumbuhkan jiwa konsumerisme warga setempat. Martani (50), warga Tambi, yang bekerja sebagai petani, tidak segan-segan memberikan sumbangan kepada kunci (penjaga) makam Ki Buyut Tambi untuk bisa menyelenggarakan unjungan. Jumlah sumbangan uang tunai memang hanya sekitar Rp 20.000. Itu belum termasuk rokok dan makanan, serta saweran ketika ia menikmati hiburan di pasar malam saat unjungan.

Martani bisa menghabiskan Rp 75.000 untuk sekadar menikmati hiburan semalam. Uang sebesar itu diakuinya setara dengan dua hari bekerja di sawah.

Iwan Hermawan, Kepala Subdinas Tenaga Kerja dan Perluasan Kerja Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kabupaten Indramayu, mengakui, kegiatan konsumtif di masyarakat Indramayu sudah menjadi bagian dari tradisi. Sebagian dari mereka rela bekerja ke luar negeri dan pulang hanya untuk membiayai hajatan. Kebutuhan utama, seperti pendidikan, belum menjadi prioritas sebagian warga.

Pesta seperti unjungan Ki Buyut Tambi bisa menjadi penguat ekonomi warga Indramayu. Sayang, baru pedagang dan seniman yang menikmati perputaran uang di pesta itu.
Powered by Blogger.