Menelusuri Jejak PSK di " Lumbung Tlembuk / Pelacur "



Indramayu - Anda akan mencari pekerja seks komersial (PSK) di Kabupaten Indramayu? Dijamin, akan kecewa, sebab tidak akan menemukannya. Bolehlah orang mengatakan bahwa wanita tuna susila (WTS) di berbagai kota besar di Indonesia–seperti Bandung, Jakarta, Batam, Tanjungbalai Karimun, Tanjungpinang–berasal dari Indramayu. Tetapi di Indramayu sendiri, WTS itu tidak ada, kecuali beberapa orang. Itu pun sudah berumur lebih dari 25 tahun.

Dalam dunia pelacuran, usia di atas 25 tahun pada umumnya sudah terlalu tua, kecuali dalam pelacuran kelas menengah ke bawah. Bahkan, dapat dikatakan, mereka hanyalah tlembuk bodhol. Memang ada lokalisasi cukup besar di Kecamatan Haurgeulis yang populer disebut CI (Cilegeng Indah), tapi WTS-nya tidak semua dari Indramayu, melainkan dari Subang, Karawang, bahkan ada yang berasal dari luar Jawa Barat.

Sepanjang akhir tahun 2006 hingga awal tahun 2007, saya sempat menelusuri Kab. Indramayu melalui Kec. Jatitujuh di Kab. Majalengka hingga Haurgeulis dan kemudian menyeberang ke Kab. Subang melalui Kec. Compreng. Maksud hati ingin mencari PSK di Indramayu, sebuah kabupaten yang sangat tersohor sebagai sentra pengiriman PSK. Seorang penunjuk jalan menyebutkan bahwa di Desa Nunuk, Kec. Lelea terdapat perkampungan yang di dalamnya terdapat bisnis esek-esek.

Maka saya menuju ke Desa Nunuk itu. Kebetulan di sana terdapat makanan khas Indramayu, pedhesan enthog, yakni jenis itik yang dimasak mirip gulai dengan rasa pedas. Sembari menikmati pedhesan enthog yang mak nyos, saya menanyakan tempat para PSK mangkal itu, meski sembari malu-malu. Namun demikian, jawabannya justru lugas, masyarakat tidak malu-malu menyebutkan tempat di mana para WTS itu berada, yaitu di tepi sawah.

Sekira 500 meter dari warung pedhesan enthog, saya menelusuri pinggir sawah hingga menemukan rumah yang dimaksud, sebuah rumah sederhana dengan lantai dari tanah. Seorang lelaki setengah baya dengan kacamata tebal menyambut saya dengan ramah sembari mempersilakan masuk ke dalam bale-bale. Setelah menyalakan kipas angin kecil di atap, lelaki tua ini kemudian segera memanggil beberapa cewek yang sedang berada di rumah anaknya di sebelah.

Dua orang perempuan kemudian datang menemani saya mengobrol sambil menghidangkan minuman dalam botol. Meskipun berada di kampung pinggir sawah, saya ditawari minum bir dan rokok. Beberapa penganan juga disuguhkan. Kami berempat saling pandang, kaku, tidak ada pembicaraan.

Lelaki setengah baya yang duduk di jojodog (bangku kayu kecil) itu kemudian memulai menanyakan tentang saya dan perjalanan saya, sekadar untuk basa-basi. Setelah beberapa saat, pembicaraan kami pun lancar, dan kami saling berkenalan. Seorang mengaku bernama Badra, dan seorang lagi bernama Praba (bukan nama sebenarnya).

Sekilas, dua wanita ini berusia 30 tahun, namun ia mengaku 25 tahun. Keduanya pernah merantau sebagai PSK di Jakarta. Mereka pulang karena ingin dekat dengan orang tua dan anak-anak mereka. Setelah bercerai dari suaminya, Badra harus menanggung dua orang anaknya, sedangkan Praba harus menghidupi anak semata wayangnya.

Keduanya sesungguhnya tidak tinggal di Desa Nunuk, melainkan di desa lainnya. Mereka berada di Desa Nunuk hanya mencari nafkah dengan melayani para tamu hidung belang. Ia datang di pagi hari dan pulang menggunakan ojek di sore hari.

”Jajan” di Nunuk tarifnya Rp 50.000,00 namun tamu harus membayar semua minuman dan penganan yang disajikan. Dengan alasan sedang tidak enak badan, saya kemudian pamit dengan tetap membayar tarif yang mereka tetapkan. Perjalanan pun saya teruskan ke arah daerah-daerah yang paling banyak mengirimkan WTS, yaitu Kec. Gabus, Kec. Bongas, dan Kec. Kroya.

**

Sepanjang perjalanan menuju Kec. Gabus, Kec. Bongas, dan Kec. Kroya, saya tidak menemukan perempuan berpakaian seronok sebagaimana mudah saya disaksikan di tempat-tempat lokalisasi. Suasana religius dengan anak-anak yang pergi ke musala untuk mengaji justru saya sering temukan. Di sebelah kiri dan kanan membentang sawah tadah hujan yang sedang digarap masyarakat setelah turun hujan di akhir Desember 2006. Meski demikian, sebagian lainnya masih kering dan tidak kunjung turun hujan.

Di Kec. Gabus, baik Gabus Wetan maupun Gabus Kulon, saya tidak menemukan tempat prostitusi. Saya baru menemukan dua rumah yang masing-masing berisi lima PSK di Kec. Bongas. Meski demikian, malam 30 Desember merupakan malam takbiran untuk memperingati Iduladha. Oleh karena itu, para PSK itu pulang ke kampung masing-masing. Meski demikian, saya sempat bertemu dengan seorang PSK yang sudah berdandan rapi dan siap menenteng tas.

Saya sesungguhnya mau pamit dan tidak bermaksud mampir. Tapi dua orang maminya memanggil saya untuk singgah. Saya tidak tega mengganggu PSK itu yang sudah siap pulang dan ditunggui tukang ojek. Maka saya pun menyarankan dia untuk segera pulang. Yang mengherankan saya, ternyata PSK pun memiliki unggah-ungguh dan sopan santun yang tidak berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Dua orang maminya disalami dan dicium tangannya. Demikian pula beberapa orang dewasa juga disalami dengan takzim, setelah itu ia melambai sembari menenteng tas, dengan mengendarai ojek.

Setelah magrib 30 Desember 2006 itu, saya meneruskan perjalanan menelusuri Indramayu. Saya menuju ke Kec. Haurgeulis, di sana ada lokalisasi yang cukup tua bernama Cilegeng Indah (CI). Setelah melewati Kota Haurgeulis, saya belok ke arah kiri. Setelah melewati pertigaan, ke sebelah kanan menuju ke arah Pondok Pesantren Al-Zaitun, sedangkan ke kiri ke arah CI.

Sebagaimana di Kec. Bongas, sebagian besar penghuni CI juga pulang kampung di malam Iduladha itu. Meski demikian, karena lokalisasi CI cukup besar, di antara yang pulang masing terdapat 10-an cewek yang tinggal di lokalisasi ini. Justru karena para penghuninya pulang kampung, saya dapat menginap di lokalisasi ini. Seorang pemilik rumah mempersilakan saya tidur di salah satu kamar yang biasa dihuni WTS. Kendaraan segera saya masukkan ke dalam ruang diskotek.

Meskipun badan penat luar biasa, tapi saya tidak mudah tidur di kamar WTS. Maka saya memilih nongkrong di bale-bale di depan kafe. Saat itu saya dapat menyaksikan, sesekali datang tamu, sepuluhan PSK yang masih tersisa kemudian melayani tamu tersebut ngobrol di ruang kafe sembari minum. Setelah masuk ke kamar, tamu tersebut kemudian membayar bon yang disodorkan PSK tersebut dan terus pamit. Malam itu saya menyaksikan beberapa tamu datang di beberapa rumah, namun secara umum CI malam itu benar-benar tutup. Semua rumah mematikan lampu. Meski demikian, kalau ada tamu yang datang, masih ada PSK yang melayaninya.

Di CI ada 30-an rumah yang menyediakan PSK dan kamar-kamar untuk prostitusi. Setiap rumah setidaknya memiliki 4 -5 PSK. Selain rumah-rumah yang masuk ke dalam, rumah-rumah di pinggir jalan cukup atraktif menawarkan jasa prostitusinya, sehingga siapa pun yang lewat jalan di Haurgeulis ini akan tahu bahwa tempat tersebut adalah lokalisasi, meskipun mereka cukup jauh dari rumah-rumah penduduk.

Saat hendak kembali masuk kamar, seorang WTS keukeuh ingin masuk dan memijat saya. Tapi saya tidak suka melihat hidungnya yang mancung seperti orang India karena mendapat suntikan silikon. Apalagi parfumnya yang menyengat membuat saya semakin pusing. Dengan memberikan uang tips, maka saya dapat mengusirnya dengan sopan.

Karena terganggu, saya tidak bisa tidur lagi. Saya kembali memilih bale-bale di luar rumah untuk tidur. Meski angin malam yang kencang menerpa CI, saya memilih bertahan di tempat ini. Seorang pemilik rumah bordil pun keluar menemani saya tiduran di luar. Ia bercerita bahwa usaha prostitusi di CI harus menyewa rumah seharga Rp 8 juta setahun. Meski demikian, setiap bulan ia harus setor Rp 2 juta ke pihak keamanan, ditambah uang bensin yang besarnya tidak menentu setiap hari.

Karena besarnya pungutan ini, saya melihat beberapa rumah kosong, tak ada penyewanya. Rupanya, bisnis esek-esek pun tidak mudah dan banyak yang mengalami kebangkrutan. Sekilas, prostitusi adalah menjual jasa seks, di mana modalnya tidak pernah habis. Nyatanya, mereka bangkrut, PSK terlantar, dan yang mengeksploitasi mereka tidak mau tahu.

Setelah berkeliling Indramayu, seketika saya berkesimpulan, jangan-jangan masyarakat Indramayu sesungguhnya suci. Mereka ingin hidup bersih, tanpa barang haram, apalagi harus mengeksploitasi anak-anak dan istri mereka. Kalaulah perut mereka kenyang, kalaulah kampung halaman mereka makmur, dan seandainya mereka memiliki keterampilan yang lain dan terpelajar. Tapi kapan? Saatnya semua stakeholders memikirkan dan mewujudkannya. (Wakhudin/”PR”) (Judul dirubah sedikit oleh Admin)
Powered by Blogger.